sub menu

Sabtu, 21 April 2018

SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA DAN WALI SONGO


Di tinjau dari sudut sejarah, agama Islam masuk ke Indonesia melalui berbagai cara. Pada umumnya masuknya Islam ke Indonesia melalui para pedagang dari jazirah Arab, Persia, dan India pada abad ke-7 M.[2] Para pedagang tersebut menyebarkan Islam dengan cara berdagang dengan penduduk Indonesia, menikahi penduduk Indonesia, atau meliputi pendidikan yang meliputi kesenian, pemerintahan, dan tasawuf kepada masyarakat Indonesia hingga Islam bisa diterima dan menjadi mayoritas di Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, Islam berkembang dengan menyatukan budaya lokal Indonesia dengan ajaran Islam. Namun, perpaduan itu tidak menyebabkan ajaran Islam keluar dari jalurnya dan tetap berpegang teguh pada tuntunan Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Pada umumnya pembawa agama Islam ke Indonesia adalah para pedagang yang berasal dari Arab. Selain berdagang, mereka merasa berkewajiban menyiarkan agama Islam kepada orang lain. Agama Islam masuk ke Indonesia dengan cara damai, tidak dengan kekerasan atau peperangan, dan tidak dengan paksaan. Adapun daerah Indonesia yang mula-mula di masuki islam adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Jawa Tengah. Kemudian agama Islam berkembang ke seluruh pelosok tanah air.
Berikut ini pendapat beberapa ahli tentang waktu dan daerah yang mula-mula di masuki Islam di Indonesia :
1.      Drs. Juned Pariduri
Beliau menyimpulkan bahwa agama Islam pertama kali masuk Indonesia melalui daerah Sumatera Utara (Tapanuli) pada abad ke-7, hal ini didasarkan pada penyelidikannya terhadap sebuah makam Syekh Mukaiddin di Tapanuli yang berangka tahun 48 H (670 M).
2.      Hamka
Hamka berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Jawa pada abad ke-7 (674), yang didasarkan pada kisah sejarah yang menceritakan tentang Raja Ta-Cheh yang mengirimkan utusan menghadap Ratu Sima dan menaruh pundi-pundi yang berisi emas di tengah-tengah jalan dengan maksud menguji kejujuran, keamanan, dan kemakmuran negeri itu. Menurut Hamka, Raja Ta-Cheh adalah Raja Arab Islam.
3.      Zainal Arifin Abbas
Beliau berpendapat bahwa agama Islam masuk di Sumatera Utara pada abad ke-7 (648). Beliau juga mengatakan pada waktu itu datang di Tiongkok seorang pemimpin Islam yang telah mempunyai pengikut di Sumatera Utara.
Berdasakan para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa agama Islam masuk di Indonesia pada abad ke-7. Pada abad ke 13 agama Islam berkembang dengan pesat ke seluruh Indonesia. Hal itu di tandai dengan adanya penemuan-penemuan batu nisan atau makam-makam yang berciri khas Islam, misalnya di Leran (dekat Gresik) terdapat sebuah batu yang berisi tentang meninggalnya seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun pada tahun 1082 M dan makam-makam Islam di Tralaya yang berasal dari abad ke-13 M[3] dan di Samudera Pasai terdapat makam-makam raja Islam, di antaranya makam Sultan Malik as-Saleh yang meninggal tahun 676 H atau 1292 M.
1.      Perkembangan Islam di Sumatera
Agama Islam masuk ke Sumatera sekitar abad ke-7. Pertumbuhan Islam di Sumatera ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam pertama di Sumatera dan juga pertama di Indonesia, yaitu kerajaan Samudera Pasai di Aceh yang didirikan oleh raja pertama yaitu Malik al-Saleh[4]. Selanjutnya agama Islam berkembang hampir ke seluruh wilayah Sumatera. Seperti Tapanuli, Riau, Minangkabau, Kerinci, Bangka, Belitung, Indragiri, Lampung serta daerah-daerah lainnya.
2.      Perkembangan Islam di Jawa
Agama Islam masuk ke Jawa Tengah pada masa pemerintahan Sima (674). Kerajaan Islam pertama adalah kerajaan Demak yang dipimpin oleh raja pertama yaitu Raden Patah. Sedangkan masuknya Islam di Jawa Timur terbukti dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun pada tahun 1082 dan ditemukannya batu nisan bertuliskan Arab yang kemudian disebut “batu leran”. Masuknya Islam di Jawa Barat disiarkan oleh Haji Purba pada saat pemerintahan Prabu Mundingsari pada tahun 1190. Perkembangan agama Islam di Jawa juga tidak dapat lepas dari peranan dan andil Wali Songo.
3.      Perkembangan Islam di Sulawesi
           Perkembangan agama Islam di Sulawesi tidak sebaik dan sepesat di Jawa dan Sumatera. Cara pengislaman di Sulawesi juga dilakukan dengan cara damai, tanpa kekerasan, peperangan, atau paksaan. Terkadang timbul pertentangan antara kerajaan yang telah Islam dengan kerajaan yang belum memeluk Islam. Pertentangan tersebut bukan karena masalah agama, akan tetapi masalah politik, misalnya Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Sopeng.
Adapun yang menyiarkan agama Islam di Sulawesi adalah Dato’ri Bandang dan Dato’ Sulaeman. Dato’ri Bandang adalah murid Sunan Giri dan beliau mengajarkan agama Islam kepada rakyat dan para raja. Daerah pelopor pengembangan agama Islam adalah di Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo di Sulawesi Selatan. Kedua kerajaan itu kemudian bergabung menjadi Makassar. Raja Gowa menjadi raja Makassar kemudian bergelar Sultan Alaudin. Sedangkan Raja Tallo menjadi Mangkubumi dengan gelar Sultan Abdullah.
4.      Perkembangan Islam di Kalimantan
Sekitar tahun 1550 di Banjar berdiri kerajaan Islam dengan rajanya bergelar Sultan Suryanullah. Sejak itu pula rakyat Banjar banyak yang memeluk agama Islam. Begitu pula daerah-daerah di bawah kekuasaan Banjar, satu persatu masuk Islam sehingga agama Islam dengan cepat dan pesat berkembang di Kalimantan.
Sebelum agama Islam masuk ke Dayak, suku Dayak menyembah berhala. Kemudian lama-lama mereka banyak yang memeluk agama Islam. Pengislaman di Dayak melalui jalan perdagangan, pernikahan, dan dakwah. Penyiaran Islam di Dayak dilakukan oleh pendatang dari Arab, Bugis, dan Melayu. Perkembangan Islam selanjutnya dilakukan oleh keturunan-keturunan mereka.
5.      Perkembangan Islam di Indonesia
Proses penyebaran Islam di wilayah Nusantara tidak dapat dilepaskan dari peran aktif yang dilakukan oleh para ulama. Melalui merekalah Islam dapat diterima dengan baik dikalangan masyarakat Nusantara. Para ulama yang pertama kali menyebarkan Islam di Nusantara antara lain sebagai berikut :
a.       Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, sekitar tahun 1590. Pengembaraan intelektualnya tidak hanya di Fansur, Aceh, tetapi juga ke India, Persia, Makkah dan Madinah. Karena itu ia menguasai berbagai bahasa selain bahasa Melayu. Dalam pengembaraannya itu, ia sempat mempelajari ilmu fiqih, tauhid, tasawuf, sejarah dan sastra Arab. Usai menjalani pengembaraan intelektualnya, Hamzah Fansuri kembali ke kampung halamannya di Fansur, Aceh,untuk mengajarkan keilmuan Islam yang diperolehnya dari guru-guru yang didatanginya di negeri-negeri yang telah disinggahi. Ia mengajarkan keilmuan Islam tersebut di Dayah (pesantren) di Obob Simpangkanan, Singkel.
Hamzah Fansuri bukan hanya sebagai seorang ulama, sufi dan sastrawan terkemuka, ia juga sebagai perintis pengembangan peradaban Islam di Nusantara. Dalam bidang keilmuan tafsir, Hamzah Fansuri telah mempelopori penggunaan metode ta’wil. Hal ini dapat dilihat dari karyanya Asrarul Arifin.
b.      Syamsudin Al-Sumatrani
Syamsudin Al-Sumatrani merupakan salah seorang ulama terkemuka di Aceh dan Nusantara yang hidup pada abad ke-16. Syamsudin Al-Sumatrani memiliki peran dan posisi penting di istana kerajaan Aceh Darussalam, karena is berprofesi sebagai Qadli (Hakim Agung), juga kedekatannya dengan Sultan Iskandar Muda sebagai seorang Syeikh Al Islam. Syeikh Al Islam merupakan gelar tertinggi untuk ulama, kadi, imam atau syeikh, penasihat raja, imam kepala, anggota tim perundingan dan juru bicara Kerajaan Aceh Darussalam. Karya-karya Syamsudin Al-Sumatrani adalah : Jaubar Al-Haqaid, Risalah Al-Baiyyin al-Mulahaza Al-Muwahhidin Wa Al-Mubiddinfi Dzikr Allah, Mir’ah Al-Mukminin, Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri, Syarah Syair Ikan Tongkol.
c.       Nuruddin Ar-Raniri
Nuruddin Ar-Raniri dilahirkan di Ranir (sekarang Render), sebuah pelabuhan tua di Gujarat. Ayahnya berasal dari keluarga imigran Arab Hadramy, Arab Selatan, yang menetap di Gujarat India. Meskipun ia keturunan Arab, Ar-Raniri dianggap lebih dikenal sebagai seorang ulama Melayu dari pada India atau Arab.
Ar-raniri diangkat sebagai Syeikh Al Islam, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani. Dengan memperoleh dukungan dari sultan, Ar-Raniri mulai melancarkan berbagai pembaruan pemikiran Islam di tanah Melayu, khususnya di Aceh. Selama lebih kurang tujuh tahun, ia menentang doktrin wujudiah yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin Al-Sumatrani. Diantara karya Ar-Raniri adalah Shiratal Mustaqiem dalam bidang tasawuf, dan Durratul Aqaid bisyarbil-Aqaid dalam bidang akidah Islam.
d.      Abdurrauf Singkel
Abdurrauf Singkel lahir di Singkel pada tahun 1024 H/1615 M. Ia memperoleh pengetahuan Islam dari ayahnya yang seorang ulama. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di Banda Aceh. Setelah itu melanjutkan ke Haramain pada tahun 1052 H/1642 M. Abdurrauf kembali ke aceh pada tahun 1584 H/1661 M. Karyanya yang paling terkenal adalah Tafsir Tarjuman Al-Mustafid (Tafsir Penafsir yang Bermanfaat) dan Al-Miratu Thulab fi tashilil Ma’rifatul Ahkamus Syar’iyyah lil Malikil Wahhab (Cermin Mudd untuk Memudahkan Pengetahuan tentang Hukum Syari’at yang Dihadiahkan kepada raja) dalam bidang fikih muamalah.
e.       Syeikh Muhammad Yusuf Al-Makassari
Muhammad Yusuf bin Abdullah Abul Mahasin Al-Tajul-Khalwati Al-Makassari, dilahirkan di Moncong Loe, Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1626 M/1037 H. Ia berasal dari keluarga yang taat beragama. Ia belajar bahasa Arab, fikih, tauhid, dan tasawuf kepada Sayid Ba Alwi bin Abdullah Al-‘Allaham Al-Thahir, seorang Arab yang menetap di Bontoala. Setelah berusia 15 tahun, ia melanjutkan pelajarannya di Cikoang dengan Jalaluddin Al-Aydid, seorang guru pengembara, yang datang dari Aceh ke Kutai, sebelum sampai di Cikoang.
Diantara karyanya adalah menyalin kitab Ad-Durrah Al-Fakbira (Mutiara yang Membanggakan), dan Risalah fil-Wujud (Tulisan tentang Wujud)
f.       Syeikh Abdussamad Al-Palimbani
Syeikh Abdussamad Al-Palimbani merupakan salah seorang ulama terkenal yang berasal dari Palembang, Sumatra Selatan. Ayahnya adalah seorang sayid dari San’a, Yaman, yang sering melakukan perjalanan ke India dan Jawa sebelum menetap di Kedah, Semenanjung Malaka. Di Kedah, ia diangkat menjadi Qadli (Hakim Agung) di Kesultanan Kedah.
Salah satu karyanya adalah Nasihah Al-Muslimin wa Tazkiyarah Al-Mukmininfi Tadla’ililfibadfi Sabilillah (Nasihat bagi Kaum Muslimin dan Peringatan bagi Orang Beriman tentang Keutamaan Jihad di Jalan Allah)
g.      Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari
Muhammad Arsyad Al-Banjari lahir pada tahun 1122 H/1710 M di Martapura, Kalimantan Selatan. Ia memperoleh pendidikan dasar keagamaan dari ayahnya dan para guru setempat didesanya sendiri. Dalam usia 7 tahun, Muhammad Arsyad telah mampu membaca al-qur’an secara sempurna. Kemampuan ini menarik perhatian Sultan Tahlilullah sehingga ia di minta tinggal bersama sultan di istana. Di kemudian hari sultan menikahkannya kemudian ia dikirim ke Haramain guna menuntut ilmu atas biaya kesultanan.
Karyanya adalah Sabilul Muhtadin (Jalan bagi Oang yang Mencari Petunjuk) dalam bidang ilmu lahir dan Kanzul Ma’rifah (Gudang Pengetahuan) dalam bidang ilmu batin.
h.      Syeikh Muhammad Nafis Al-Banjari
Muhammad Nafis lahir pada tahun 1148 H/1735 M di Martapura. Ia berasal dari keluarga bangsawan Banjar. Ia merupakan tokoh terpenting kedua setelah Muhammad Arsyad Al-Banjari. Ia meninggal dan di kuburkan di Kelua, sekitar 125 km dari Banjarmasin.
Karya tasawufnya yang terkenal adalah Ad-Durrun Nafis fi Bayanil Wabdab wal Afalul Asma wa Sifat wa Zatut Taqdis.


i.        Syeikh Muhammad bin Umar An-Nawawi Al-Bantani
Muhammad bin Umar An-Nawawi Al-Bantani lahir di Tanara, Serang, Banten pada tahun 1230 H/1813 M. Sejak kecil ia dan kedua saudaranya, Tamim dan Abmad, di didik ayahnya dalam bidang agama, ilmu kalam, ilmu nahwu, fikih dan tafsir. Selain itu ia juga belajar dari Haji Sabal, ulama terkenal saat itu, dan dari Raden Haji Yusuf di Purwakarta Jawa Barat.
Syeikh Nawawi A-Bantani termasuk salah seorang ulama Nusantara yang cukup berpengaruh dan sangat dihormati, bukan hanya di kalangan komunitas melayu Nusantara tetapi juga oleh masyarakat Haramain secara keseluruhan. Posisi sosial keagamaan dan intelektual yang dimilikinya memberi kesempatan kepadanya untuk mengajar pada berbagai halaqah di Masjidil Haram sejak tahun 1860, khususnya di Ma’had Nashr Al-Ma’arif Ad-Diniyah, hingga akhirnya ia memperoleh gelar sebagai “Syeikh Al-Hijaz”
j.        Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau
Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat pada tahun 1276 H/1855 M. Ayahnya adalah seorang jaksa di Padang, sedangkan ibunya adalah anak dari Tuanku Nan Renceh, seorang ulama terkemuka dari golongan Padri. Ahmad Khatib kecil memperoleh pendidikan awal pada sekolah pemerintah yang didirikan Belanda, yaitu sekolah rendah dan sekolah guru di kota kelahirannya. Kemudian pada tahun 1876, Ahmad Khatib melanjutkan pendidikan agamanya di Makkah, tempat kelak ia memperoleh kedudukan tinggi dalam mengajarkan agama dan imam dari madzhab Syafi’i di Masjidil Haram.
k.      Wali Songo
Dalam sejarah penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa terdapat sembilan orang ulama yang memiliki peran sangat besar. Mereka di kenal dengan sebutan Wali Songo.
1)      Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim nama aslinya adalah Maulana Makhdum Ibrahim As Samarkandy. Beliau lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh pertama pada abad ke-14. Maulana Malik Ibrahim juga disebut Syekh Maghribi. Ia bersaudara sengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim  dan Ishak adalah anak dari seorang Persia, bernama Maulana Jumada’ Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai generasi ke-10 dari Al-Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW. Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama 13 tahun (1379-1392) dan menikah dengan putri raja Campa. Dari perkawinan ini lahir dua putra, yaitu Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadho alias Raden Santri.[5]
Pada tahun 1392, Maulana Malik Ibrahim hijah ke pulau Jawa tepatnya di desa Sembalo (sekarang Leran), Manyar, sebelah utara kota Gresik. Aktivitas pertama yang dilakukan di desa itu adalah berdagang dengan cara membuka warung, yang menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu, Maulana Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara Cuma-Cuma.
2)      Sunan Ampel
Sunan Ampel adalah putra tertua dari Maulana Malik Ibrahim. Nama aslinya adalah Raden Rahmat. Beliau dilahirkan pada 1401 di Campa. Nama Ampel sendiri di identikkan pada nama tempat di mana ia lama bermukim, yaitu di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian Surabaya, kota Wonokromo sekarang.[6]
Sunan Ampel masuk ke pulau jawa pada tahun 1443. Sunan Ampel membangun dan mengembangkan pondok pesantren, yang kemudian dikenal dengan sebutan Pesantren Ampel Denta. Pada pertengahan abad ke-15, Pesantren Ampel Denta menjadi pusat Pendidikan Islam yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara, bahkan hingga ke mancanegara. Dalam menyampaikan materi, Sunan Ampel menyampaikan materi yang sangat mendasar dan sederhana. Sunan ampel pula yang mengenalkan istilah Mo Limo (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon).
3)      Sunan Giri
Nama asli Sunan Giri adalah Muhammad Ainul Yaqin. Nama kecil Sunan Giri ialah Raden Paku. Ia lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442. Ayahnya adalah Muhammad Ishak, saudara kandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil mengislamkan istrinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga istrinya dan berkelana hingga Samudera Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di Pesantren Ampel Denta yang didirikan oleh Sunan Ampel, Ia juga berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah itu Ia membuka pesantren didaerah perbukitan desa Sidomukti, Selatan Gresik. Materi yang disampaikan Sunan Giri adalah soal akidah dan ibadah dengan pendekatan fikih yang disampaikannya secara lugas. Pesantren ini tidak hanya digunakan sebagai tempat pendidikan, tetapi juga dijadikan sebagai pusat pengembangan masyarakat.
4)      Sunan Bonang
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Beliau lahir pada tahun 1465. Ibunya bernama Nyi Ageng Manila, putri seorang Adipati di Tuban[7]. Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok pulau Jawa. Pada awalnya ia berdakwah di Kediri dan kemudian menetap di Bonang, Lasem, Jawa Tengah. Di desa itu ia membangun pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar.
Sunan Bonang juga banyak menulis karya sastra berupa suluk atau tembang tamsil. Salah satunya Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al-Shidiq karya Abu Sa’id Al-Khayr. Dan tembang Tombo Ati juga termasuk salah satu karyanya.
5)      Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah seorang wali yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir di sekitar tahun 1450. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban, salah seorang keturunan tokoh pemberontak Majapahit bernama Ronggolawe. Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, atau Raden Abdurrahman.
Dalam melaksanakan gerakan dakwahnya, Sunan Kalijaga menggunakan sarana kesenian dan kebudayaan, misalnya seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk. Beberapa karya Sunan Kalijaga diantaranya adalah menciptakan perayaan sekatenan, grebek maulud, Layang Kalimasada, dan lakon wayang Petruk Jadi Raja.
6)      Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah lahir sekitar tahun 1448. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari Raja Pajajaran, Raden Manah Rarasa. Ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Sejak kecil Syarif Hidayatullah belajar agama Islam dan baru mulai mendalami ilmu agama secara intensif sejak berusia 14 tahun dari ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Setelah berdirinya Kesultanan Bintoro Demak dan atas restu ulama lain, ia mendirikan Kesultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya Wali Songo yang memimpin pemerintahan. Dalam berdakwah, Sunan Gunung Jati mendekati rakyat dengan cara membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah. Lalu Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten hingga penguasa banten, Pucuk Umum, menyerahkan dengan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
7)      Sunan Drajat
Sunan Drajat dilahirkan pada 1470. Nama kecil Sunan Drajat adalah Raden Qosim dan bergelar Syaifuddin. Ayahnya adalah Sunan Ampel. Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Tetapi ia kemudian terdampar di Dusun Jelog, daerah pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Setahun berikutnya, Sunan Drajat pindah ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama desa Drajat, Paciran, Lamongan.
Sunan Drajat dikenal sebagai seorang yang bersahaja dan suka menolong, serta memelihara anak-anak yatim piatu dan fakir miskin. Dalam berdakwah, Sunan Drajat tidak menggunakan cara dengan mendekati budaya lokal melainkan secara langsung yaitu tentang tauhid dan akidah.
8)      Sunan Kudus
Nama kecil Sunan Kudus adalah Jaffar Shadiq. Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Sunan kudus berdakwah ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo, hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga, yaitu sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Oleh karena itu, para wali menunnjuknya menjadi penyebar Islam di Kudus. Hal itu terjadi karena ia merupakan salah seorang wali yang mencoba mengakomodasi budaya lokal dalam berdakwah di kalangan masyarakat Kudus yang mayoritasnya beragama Hindu.
9)      Sunan Muria
Sunan Muria adalah putra Dewi Saroh dari hasil perkawinannya dengan Sunan Kalijaga. Dewi Saroh adalah adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Muhammad Ishak. Nama kecil Sunan Muria adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari Tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, yaitu sebelah utara kota kudus.
Sunan Muria berdakwah dari Jepara, tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PROFIL PENULIS

PROFIL PENULIS NAMA : KHOTIJAH, MAHASISWI DI IAIN PEKALONGAN JURUSAN TARBIYAH. ALAMAT : DS KALIPANCUR 02 KEC. BOJONG. KAB ...